17 Tahun

Sore itu kami bergandengan tangan, memandang langit yang kelabu bercampur jingga yang tersisip di antara awan. Tanah yang kami pijaki basah, tak jauh dari kaki kami, ada genangan air bercampur lumut pelan-pelan merembes masuk ke dalam perut bumi. Senyum kami merekah kecil sembari menghirup bau tanah selepas hujan. Tidak ada pembicaraan berarti, hanya tautan tangan kami yang berbicara.

Pada tanganku yang lain, ada sebuah kantong plastik putih terjinjing. Di dalamnya terdapat jejeran pulpen berwarna-warni, mengkilap seperti serbuk peri dalam tayangan kartun favoritku dan sebuah buku tebal berwarna hijau putih. Sebuah kado yang mengesankan pada umurku yang ke-11.

Tiba-tiba Kiki, anak yang menggenggam tanganku itu berujar pelan, “kado itu harus kamu jaga baik-baik. Semuanya harus penuh diisi gambarmu. Awas kalau hilang!”

Aku tertawa kecil. “Iya, kipi-kipi. Aku akan jaga sampai umurku 17 tahun. Nanti kita ketemu lagi terus aku perlihatkan gambar-gambarku. Pasti bakal lebih baik dari gambarmu!! Aku mau latihan terus!”

“Oke. Janji, ya? Kalau kita sama-sama umur 17 tahun kita harus ketemu dan kado itu harus kamu jaga!” Kata Kiki sembari memainkan genggaman kami. Aku mengangguk yakin, “pasti! Harus! Aku bakal ke Banjarmasin untuk ketemu kamu lagi!”

Dan kami pun tertawa sebelum akhirnya tangis kami sama-sama pecah ketika mobil ayah tiba di hadapanku. Mobil Escudo itu mengklakson diriku yang terbenam di dalam pelukan Kiki, si anak perempuan bertubuh paling gempal di kelas kursusku. Kami sama-sama menangis sedih, menyadari bahwa perpisahan adalah satu hal yang paling menyakitkan. Dan ayah hanya tersenyum kecil di dalam mobil melihat kami terisak dalam sebuah pelukan perpisahan.

@@@@@@

“SELAMAT ULANG TAHUN!!!!!” Teriak para undangan, kelasku dan kelas tetangga, begitu mereka tiba serombongan di rumah. Sudah setengah jam aku menunggu kehadiran mereka dengan gelisah, rasa kecewa sedikit mengusik begitu berekspetasi bahwa mereka tidak akan datang dalam pesta kecil-kecilanku ini.

Ya. Hari ini aku meminta mama untuk mengadakan sebuah acara syukuran kecil mengingat umurku yang bertambah setahun. Hari ini, 28 September, aku berulang tahun yang ke-17. Sebuah angka, yang kata orang kebanyakan, menandakan sebuah kedewasaan baru. Anak Baru Gede, istilahnya.

Aku memandang teman-temanku satu per satu. Mereka riuh dalam kebersamaan. Asyik menikmati nasi sop buatan mama sembari bercengkrama, berfoto, mau pun bermain monopoli. Tidak terasa sekarang aku sudah berjalan selama 17 tahun di dunia, berpindah-pindah selama 3 kali di beberapa daerah, dan bertemu dengan banyak jenis orang di setiap daerahnya. 

“Hana!!! Ayo foto!!” Mereka memanggilku, memecah lamunanku yang super luar biasa panjangnya mengingat hari-hari yang ku lewati sebelumnya.

Dan aku merasa lebih luar biasa lagi hari ini ditemani oleh kawan-kawan seperjuangan yang riuh dalam syukuran kecil pertanda bertambahnya umurku.

Well, selamat datang 17 tahun!

@@@@@

Remaja itu meringkuk di atas kasur, selimut menutupi tubuhnya hingga dada menutupi kedua tangannya yang tidak dapat bergerak bebas. Kedua matanya sayu, menatap ke arah pintu putih yang tertutup rapat. Dia sudah tidak ingat lagi hari apa ini. Tidak ada kalender mau pun telepon seluler di ruangan itu membutakannya akan perkembangan dunia. Lelah sudah keingintahuannya. Dia tidak tahan dengan kehidupannya yang penuh ketidakpastian ini.

Entah sudah berapa lama dia tinggal di ruangan serba putih ini. Dua tahun, tiga tahun. Kiki merasa sel-sel otaknya sudah bekerja tidak stabil. Hanya sedikit yang dia ingat. Namanya, wajah beberapa keluarganya, kebiasaan yang dia sering lakukan dulu, dan cita-citanya yang ingin membuat sebuah komik. Terlepas dari itu, dia juga mengingat beberapa wajah orang asing berpakaian serba putih yang mengecek kondisi tubuhnya.

Seperti kali ini. Seorang perempuan berbaju putih memasuki ruangan. Perempuan itu membawa sebuah papan pada genggaman tangannya. Kiki memperhatikan perempuan itu sebelum akhirnya menjatuhkan tatapan pada atap ruangan ketika tangannya yang kaku diperiksa. Ada selang yang tertancap di sana, selang yang mengalirkan cairan infus dari sebuah kantong yang dikait pada sebuah tiang.

“Ki, tahun ini kamu udah 17 tahun, ya?”

Kiki menghela napas. Dia tidak tahu akan hal itu.

“Semoga kamu cepat sembuh supaya bisa bikin acara di rumah, ya Ki.” Kata perempuan itu sebelum Kiki merasa matanya makin lelah.

Sebelum perempuan itu keluar dari ruangan, Kiki sudah pulas terlelap. Terlelap dan melupakan segala hal yang menimpanya hari ini.

NB:

Tak jelas memang. Saya hanya teringat akan perjanjian kecil yang saya buat bersama teman kecil saya di Banjarmasin yang biasa dipanggil Kipi-kipi. Mungkin kami seharusnya sudah saling melupakan, dan kemarin tiba-tiba saya teringat akannya. Lucu memang. Sayang, perjanjian kami tidak pernah terealisasikan.

Leave a comment